Saya ini termasuk penulis yang jarang sekali atau bisa dibilang tidak pernah menulis fiksi remaja maupun dewasa. Saya lebih menikmati nonfiksi karena merasa daya imajinasi saya sepertinya agak terbatas :). Belum lagi saya merasa pilihan kata-kata saya sepertinya terbatas. Itulah alasan utama saya tiak menulis fiksi dewasa maupun remaja.
Untuk fiksi anak, saya sudah menghasilkan beberapa buku untuk pembaca anak. Baik itu yang berbentuk pictorial book maupun novel anak. Tapi bukankah ini juga membutuhkan imajinasi? Betul, hanya saja saya mungkin agak terbantu karena suka membaca buku anak (bareng anak-anak saya) dan juga banyak bergaul dengan anak-anak murid saya.
Namun kali ini saya terpancing untuk ikut urun cerita di ajang menulis fiksi yang diadakan komunitas fiksiana / kompasiana. Mungkin karena temanya cukup menyentuh, yaitu tentang ibu, membuat saya tertarik ikutan. Saya pun mempelajari syarat-syarat yang disebutkan antara lain menggunakan sudut pandang orang pertama, format surat seperti kita menulis surat untuk ibu sendiri, harus menguras air mata dan point yang terakhir adalah boleh pengalaman sendiri maupun fiksi.
Membaca ketentuan tersebut, saya pun mulai menggali semua ingatan saya tentang mama saya. Tentunya yang sedih dan diharapkan mampu menguras air mata. Kok ya, makin dipikir saya makin tidak menemukan. Apa pasal? Mungkin karena, alhamdulillah, saya rasanya tidak pernah mengalami masa yang harus bersimbah air mata.
Ah, nggak mungkin. Pasti ada saja yang berkata demikian. Memang rasanya nggak mungkin ada manusia yang tidak mengalami kesedihan. Tapi suer, saya belum nemu sedikitpun kisah sedih dalam relasi saya dengan mama. Semuanya menggembirakan, walaupun terus terang saya mengakui hidup kami juga tidak berlebihan kok. Tapi semuanya lancar....saja. Alhamdulillah.
Akhirnya saya pun terpikirkan seorang anak, sebutlah namanya Ani. Dia sekarang masih duduk di bangku SMP. Nah Ani inilah yang merasuki sang aku dalam cerita yang saya buat. Saya mengenal keluarga Ani jauh sebelum dia lahir. Bahkan sampai aib dimana tak ada seorangpun lelaki yang mengakuinya sebagai anak karena ibunya memang hamil diluar nikah.
Nah dari sinilah saya berusaha menyelami perasaan Ani. Oh iya ibu Ani memang cacat, tapi bukan bisu tuli seperti yang saya ceritakan di situ. Ibu Ani kurang cerdas. Saya nggak tahu persisnya penyakit apa. Kalau kita berinteraksi biasa dengannya, tidak terlihat tanda-tanda ada yang kurang padanya. Tapi kalau kita lama bergaul, barulah kekurangan itu terasa.
Sebagai Ani, saya pun berusaha merasakan bagaimana jika tak memiliki ayah (maksudnya tak ada yang mengaku gitu) dan memiliki ibu yang agak 'kurang'. Saya pun mengulik dari kisah Ani, bagaimana dia makin malu ketika harus diantarkan ke sekolah oleh ibunya. Bagaimana dia lebih memilih sang nenek mengambil rapor dibanding dengan ibunya. Dari sinilah cerita itu kemudian mengalir.
Setelah saya memposting cerita tersebut, dukungan pun mngalir. bukan hanya karena kisahnya yang menyentuh. Tapi ternyata banyak pula yang menaruh simpati pada nasib aku di cerita tersebut. Bahkan beberapa teman pun 'kecele' menyangka kalau itu kisah saya pribadi. Ada yang sampai mengungkapkan tidak menyangka kalau saya yang sekarang ternyata memiliki masa lalu yang cukup menyedihkan.
Membaca simpati itu tentu saja sikap saya jadi mendua. Di satu sisi saya merasa sedikit 'kesal' karena dianggap memiliki masa lalu yang tidak biasa. Tapi di sisi lain, sebagai penulis, tentu saja saya merasa senang karena berhasil menuliskan dan menyelami perasaan Ani dalam cerita yang saya buat. Mungkin ini salah satu kekuatan fiksi. Membuat orang simpati pada sang tokoh.
Pengumuman hasilnya sih belum ada. Entah saya menang atau tidak. Tapi terlepas dari itu semua saya cukup senang bisa menuliskan sesuatu yang tidak biasanya saya tulis. Semoga ini menjadi pengalaman pertama menuliskan kisah-kisah demikian.
Tertarik membaca kisah tersebut. Disini ya.... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar