Senin, 30 Desember 2013

Sawarna, Mutiara Banten di Pantai Selatan

Siapa yang tak kenal Pelabuhan Ratu. Kota kecil di pantai selatan Jawa Barat itu terkenal sebagai lokasi wisata laut favorit. Ketenarannya menyamai Pantai Pangandaran. Walaupun kedua pantai ini sama-sama berada di Jawa Barat, tapi lokasinya sangat jauh. Pelabuhan Ratu berada di sebelah barat, berbatasan langsung dengan Propinsi Banten. Sedangkan Pangandaran, berada di sebelah timur menuju perbatasan Jawa Tengah.

Di peta, Pantai Sawarna terlihat bersisian dengan Pelabuhan Ratu. Pantai ini terletak dekat kota Bayah dan menjadi bagian dari Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Kalau dari Pelabuhan ada dua alternatif jalan yang bisa digunakan. Satu melalui jalur utara memutar ke Pasir Kuray - Cikotok - Bayah sedangkan alternatif kedua melalui jalan lintas Cisolok - Cilograng.

Kedua rute tersebut sama-sama bagus dan mulus, hanya memang ada beberapa bagian ruas jalan yang rusak cukup parah. Jalur pertama memang lebih jauh tapi jalannya relatif tidak terlalu terjal dan berkelok. Sebaliknya jika menggunakan rute kedua, Anda harus bersiap dengan kelokan dan terjalnya jalan dalam jarak yang relatif pendek. Hati-hati, jangan lupa mempersiapkan kendaraan dengan baik.

Memasuki desa Sawarna, kita akan mulai merasakan suasana desa pantai di beberapa bagian. Adapun di bagian lainnya terasa seperti desa di pedalaman biasa karena tak terdengar debur ombak. Banyak obyek wisata yang bisa Anda kunjungi sekaligus di desa ini. Hal tersebut tercantum jelas pada peta yang sudah disiapkan pemerintah setempat.

Peta Lokasi dilengkapi dengan keterangan penting termasuk tarif ojek ke daerah tertentu.
Dari sekian banyak obyek wisata, Tanjung Layar dan Pasir Putih sepertinya menjadi favorit pengunjung. Itu ditandai dengan parkiran mobil dan bus yang selalu penuh. Berbeda dengan tempat lainnya di kawasan ini.
Letaknya yang berdekatan memudahkan pengunjung. Untuk masuk ke sini, kita harus melalui pintu gerbang depan jembatan gantung. Tarif sekali masuk Rp. 5000/orang.

Jarak tempuh ke Tanjung Layar sekitar 1 km, atau pengunjung juga bisa menyewa ojek. Ada juga pengunjung yang mengendarai motor hingga sampai ke lokasi. Sedangkan jarak ke Pasir Putih lebih dekat, hanya berkisar 200 meter. Kondisi jalan cukup bagus dengan pengeras paving block. Pengunjung cukup dimanjakan dengan pemandangan sawah, perkebunan dan bukit di kejauhan.

Pintu masuk kawasan Tanjung Layar dan Pasir Putih.

Dinamakan Tanjung Layar karena di kawasan ini terdapat batu besar menyerupai dua layar kapal. Bentuknya yang unik menjadikan daerah ini tempat pengambilan gambar favorit pengunjung. Tidak disarankan bermain air atau berenang di sini karena ombak yang sangat kuat. Selain itu dasar pantai berupa batuan berpotensi melukai jika tidak berhati-hati.

Penulis berfoto dengan latar belakang batu berbentuk layar.

Bagi pengunjung yang ingin merasakan sensasi bermain ombak sebaiknya dilakukan di Pasir Putih. Di sini relatif aman karena pantainya yang landai dan berpasir. Tapi prinsip hati-hati dan waspada harus tetap diingat.

Pantai Pasir Putih, Sawarna Banten.

Pengunjung tak perlu bingung mengenai akomodasi. Di kawasan ini bertebaran homestay dan tempat makan yang cukup memadai. Begitupula dengan fasilitas kamar mandi dan air bersih. Bahkan pengunjung yang ingin memasang tenda pun bisa. Untuk kepentingan ini, pengunjung bisa meminta izin pada penduduk yang membuka warung di sekitar situ. Biasanya mereka akan mengizinkan dengan imbal balik belanja makanan di warung atau menggunakan fasilitas kamar mandi yang disediakan pemilik warung tersebut. Tak usah khawatir masalah harga, cukup terjangkau kok.

Sedikit pembeda dengan kawasan wisata pantai lainnya adalah masih sedikitnya pilihan kegiatan yang bisa dilakukan. Di kawasan Sawarna hanya tersedia fasilitas surfing, dan itupun tidak banyak pengunjung yang memanfaatkannya. Hanya segelintir wisatawan asing yang terlihat surfing. Di sini juga tidak terlihat aktifitas banana boat dan snorkeling. Mungkin karena ombaknya yang tidak memungkinkan.

Nah, jika Anda sedang merencanakan liburan ke pantai dan bosan dengan Carita, Anyer maupun Pelabuhan Ratu, mungkin saatnya mencoba Pantai Sawarna. Mutiara Propinsi Banten di Pantai Selatan.

Jumat, 27 Desember 2013

Kekuatan Fiksi

Saya ini termasuk penulis yang jarang sekali atau bisa dibilang tidak pernah menulis fiksi remaja maupun dewasa. Saya lebih menikmati nonfiksi karena merasa daya imajinasi saya sepertinya agak terbatas :). Belum lagi saya merasa pilihan kata-kata saya sepertinya terbatas. Itulah alasan utama saya tiak menulis fiksi dewasa maupun remaja.

Untuk fiksi anak, saya sudah menghasilkan beberapa buku untuk pembaca anak. Baik itu yang berbentuk pictorial book maupun novel anak. Tapi bukankah ini juga membutuhkan imajinasi? Betul, hanya saja saya mungkin agak terbantu karena suka membaca buku anak (bareng anak-anak saya) dan juga banyak bergaul dengan anak-anak murid saya.

Namun kali ini saya terpancing untuk ikut urun cerita di ajang menulis fiksi yang diadakan komunitas fiksiana / kompasiana. Mungkin karena temanya cukup menyentuh, yaitu tentang ibu, membuat saya tertarik ikutan. Saya pun mempelajari syarat-syarat yang disebutkan antara lain menggunakan sudut pandang orang pertama, format surat seperti kita menulis surat untuk ibu sendiri, harus menguras air mata dan point yang terakhir adalah boleh pengalaman sendiri maupun fiksi.

Membaca ketentuan tersebut, saya pun mulai menggali semua ingatan saya tentang mama saya. Tentunya yang sedih dan diharapkan mampu menguras air mata. Kok ya, makin dipikir saya makin tidak menemukan. Apa pasal? Mungkin karena, alhamdulillah, saya rasanya tidak pernah mengalami masa yang harus bersimbah air mata.

Ah, nggak mungkin. Pasti ada saja yang berkata demikian. Memang rasanya nggak mungkin ada manusia yang tidak mengalami kesedihan. Tapi suer, saya belum nemu sedikitpun kisah sedih dalam relasi saya dengan mama. Semuanya menggembirakan, walaupun terus terang saya mengakui hidup kami juga tidak berlebihan kok. Tapi semuanya lancar....saja. Alhamdulillah.

Akhirnya saya pun terpikirkan seorang anak, sebutlah namanya Ani. Dia sekarang masih duduk di bangku SMP. Nah Ani inilah yang merasuki sang aku dalam cerita yang saya buat. Saya mengenal keluarga Ani jauh sebelum dia lahir. Bahkan sampai aib dimana tak ada seorangpun lelaki yang mengakuinya sebagai anak karena ibunya memang hamil diluar nikah.

Nah dari sinilah saya berusaha menyelami perasaan Ani. Oh iya ibu Ani memang cacat, tapi bukan bisu tuli seperti yang saya ceritakan di situ. Ibu Ani kurang cerdas. Saya nggak tahu persisnya penyakit apa. Kalau kita berinteraksi biasa dengannya, tidak terlihat tanda-tanda ada yang kurang padanya. Tapi kalau kita lama bergaul, barulah kekurangan itu terasa.

Sebagai Ani, saya pun berusaha merasakan bagaimana jika tak memiliki ayah (maksudnya tak ada yang mengaku gitu) dan memiliki ibu yang agak 'kurang'. Saya pun mengulik dari kisah Ani, bagaimana dia makin malu ketika harus diantarkan ke sekolah oleh ibunya. Bagaimana dia lebih memilih sang nenek mengambil rapor dibanding dengan ibunya. Dari sinilah cerita itu kemudian mengalir.

Setelah saya memposting cerita tersebut, dukungan pun mngalir. bukan hanya karena kisahnya yang menyentuh. Tapi ternyata banyak pula yang menaruh simpati pada nasib aku di cerita tersebut. Bahkan beberapa teman pun 'kecele' menyangka kalau itu kisah saya pribadi. Ada yang sampai mengungkapkan tidak menyangka kalau saya yang sekarang ternyata memiliki masa lalu yang cukup menyedihkan.

Membaca simpati itu tentu saja sikap saya jadi mendua. Di satu sisi saya merasa sedikit 'kesal' karena dianggap memiliki masa lalu yang tidak biasa. Tapi di sisi lain, sebagai penulis, tentu saja saya merasa senang karena berhasil menuliskan dan menyelami perasaan Ani dalam cerita yang saya buat. Mungkin ini salah satu kekuatan fiksi. Membuat orang simpati pada sang tokoh.

Pengumuman hasilnya sih belum ada. Entah saya menang atau tidak. Tapi terlepas dari itu semua saya cukup senang bisa menuliskan sesuatu yang tidak biasanya saya tulis. Semoga ini menjadi pengalaman pertama menuliskan kisah-kisah demikian.

Tertarik membaca kisah tersebut. Disini ya.... :)


Kamis, 26 Desember 2013

Menguak Sejarah di Situs Megalithikum Gunung Padang, Cianjur (1)

Membuat judulya kok terasa serius banget ya? Hehe, padahal sih menguak sejarah di sini bukan dalam arti berat lho. Hanya mengajak anak-anak berkunjung ke tempat yang (mungkin) mengandung arti sejarah.

Pilihan jatuh ke Gunung Padang karena kontroversi yang beredar di masyarakat. Penasaran dengan (katanya) kehidupan purba yang pernah hadir di tatar Sunda. Bahkan tidak sedikit yang menduga (dan berharap) bahwa situs ini nantinya bisa menyaingi kebesaran piramid. Dan kalau hal itu terjadi, tentunya kita pun bangga bahwa nenek moyang kita pun pernah memiliki peradaban yang tak kalah dengan bangsa lainnya.

Pencapaian Lokasi
Berkunjung ke situs Gunung Padang lumayan mudah. Letaknya berada di jalan raya Cianjur-Sukabumi. Ada dua alternatif jalan yang bisa dilalui dari Jakarta. Kita bisa melalui Sukabumi lalu berbelok ke arah Cianjur. Atau sebaliknya melalui Puncak, Cianjur dan akhirnya berbelok ke arah Sukabumi.

Kondisi jalan cukup bagus dengan papan penunjuk arah yang cukup jelas. Dijamin wisatawan kecil kemungkinannya tersesat menuju lokasi. Tapi sayang selepas jalan utama, jalan kampung sepanjang kurang lebih 20 km menuju lokasi banyak rusak dan tidak nyaman. Kecuali menjelang 6 kilometer terakhir yang lumayan bagus. Berita baiknya adalah adanya transportasi umum angkutan pedesaan selepas jalan utama. Jadi pengunjung yang tidak membawa kendaraan sendiri cukup naik angkutan pedesaan.



Tapi nggak usah kecewa dengan kondisi jalan yang buruk. Berita baiknya di beberapa bagian, kita bisa menikmati pemandangan yang memanjakan hati.



Bersih dan Terawat
Memasuki kawasan Gunung Padang, saya mendapatkan kesan bersih dan terawat. Entahlah, mungkin juga karena sebagai kawasan pariwisata masih terbilang baru. Jadi masih serba rapi dan teratur. Tempat parkir yang tersedia cukup menampung puluhan mobil. Kamar mandi, toilet dan mushola tersedia. Warung-warung pun tertata rapi. Hanya sayangnya kesadaran pengunjung masih kurang. Masih sering dijumpai sampah berserakan dimana-mana.


Dari tempat parkir, pengunjung harus menempuh jarak sekitar 500 meter hingga mencapai pintu gerbang situs megalithikum ini. Harga karcis masuk ke dalam 2000 rupiah. Pengunjung bisa meminta jasa pemandu jika menginginkan.

Perjalanan ke atas menuju situs cukup terjal. Tapi syukurlah sudah ada tangga batu yang memadai untuk menuju puncak.


Situs Megalithikum
Sesampai di atas, pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan morfologi daerah sekitar yang indah luar biasa. Sayangnya waktu kami berkunjung, cuaca sedang tidak bersahabat. Kabut menutupi gunung-gunung di sekitar Gunung Padang. Konon kalau kita memandang puncaknya, maka situs ini menghadap ke arah Gunung Gde.

Selain pemandangan indah, di sini pun akan kita dapat pemandangan yang tidak lazim yaitu banyaknya batuan-batuan berbentuk balok yang tersebar di ketinggian gunung. Karena itu hal ini menimbulkan pro dan kontra tentang tempat ini. Ada yang beranggapan tempat ini merupakan tempat pemujaan yang usianya  jauh lebih tua dari Candi Borobudur.


Selain batuan yang mungkin menjadi bagian dari suatu bangunan masa lampau, di sini juga bisa ditemukan struktur tangga seperti tempat pemujaan. Adapulan menhir dan dolmen yang dipercaya merupakan sarana untuk meletakkan persembahan pada jaman dahulu. Sayangnya tidak ditemukan adanya prasasti yang bisa digunakan untuk menguak misteri yang ada di Gunung Padang.

Minggu, 22 Desember 2013

Menikmati Car Free Day di Bogor

Car Free Day atau CFD sepertinya sudah menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Lazimnya setiap minggu pagi, suatu ruas jalan utama akan ditutup untuk memberi kesempatan pada masyarakat untuk merasakan suasana santai. Tanpa asap dan suara kendaraan bermotor. Di Jakarta kawasan CFD ditetapkan di jalan Sudirman, sedangkan di Bandung dipilih daerah Dago atau jalan Juanda.

Untuk wilayah Bogor dan sekitarnya, kawasan CFD ditetapkan di sekitaran lapangan Sempur. Jalan ini termasuk jalan utama yang menghubungkan tiga jalan besar yaitu jalan Pajajaran, jalan Juanda dan jalan Sudirman. Sebenarnya nama jalannya sendiri adalah jalan Jalak Harupat, tapi warga lebih mengenalnya dengan kawasan Sempur karena keberadaan lapangan Sempur di tepi kali Ciliwung.

Di hari biasa, jalan ini selalu ramai. Bahkan ada kalanya macet. Saat pelaksanaan CFD, jalan ini akan ditutup dari jam 6 pagi hingga jam 10 pagi. Tidak terlalu lama seperti kawasan CFD di daerah lainnya.



Walaupun jarak kawasan CFD di Bogor bisa dibilang pendek, namun suasananya sungguh mengasyikkan dibanding kawasan CFD di kota lain. Hal tersebut dikarenakan kehadiran pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanan jalan. Tak heran karena berseberangan dengan lapangan Sempur adalah kawasan Kebun Raya Bogor.

Lihatlah keasyikan para pengunjung menikmati suasana CFD. Ada yang memilih berolahraga di sekitaran lapangan Sempur namun tak sedikit juga yang hanya sekadar berjalan-jalan. Tentu saja peluang ini dimanfaatkan sejumlah pedagang untuk menggelar dagangan mereka. Bahkan bisa dibilang jumlah warga yang sedang berolahraga kalah banyak dibanding jumlah warga yang sedang berbelanja atau minimal cuci mata melihat barang-barang yang dijajakan.



Apa saja barang yang dijual di sini? Apa saja ada, mulai dari baju, celana, sepatu, peralatan rumah tangga, mainan anak, pokoknya segala macam ada. Para pedagang juga sepertinya berasal dari berbagai kalangan. Ada yang memang berprofesi sebagai pedagang, di hari lain mereka memang berjualan di tempat lain. Namun banyak juga pedagang dadakan. Bahkan tak sedikit kalangan muda, mungkin mahasiswa atau pelajar sekolah menengah, yang mencoba berdagang di kawasan ini.

Tidak hanya pedagang, beberapa komunitas juga kerap menggelar acara di sekitaran kawasan ini. Mulai dari komunitas bersepeda, fotografi, penggiat kebersihan hingga kalangan aktivis dakwah. Semuanya berlomba menarik perhatian para pengunjung.

Lapar atau haus tak usah khawatir. Beberapa pedagang makanan dan minuman juga kerap memenuhi kawasan ini. Hanya satu yang disayangkan, masalah sampah dan kebersihan. Sepertinya orang Indonesia memang belum banyak yang menyadari pentingnya masalah ini. Sungguh sangat disayangkan.

Oh iya jangan lupa sebelum meninggalkan kawasan ini untuk berfoto sejenak di depan istana atau dekat rusa istana. Ya, hitung-hitung sebagai bukti otentik kalau Anda pernah hadir di kota ini :)



Sajian Kuliner Khas Makassar (1)

Masing-masing daerah selalu memiliki sajian kuliner khas, tak terkecuali di Makassar. Pisang ijo, coto dan konro adalah sebagian dari kekayaan kuliner makassar yang terkenal. Bila dibilang, kuliner ini bahkan sudah menyebar ke beberapa kota besar. Pisang ijo, misalnya, dengan mudah ditemui di beberapa pusat jajanan kota besar.

Walau sudah menyebar ke berbagai daerah, tentu saja lebih afdal rasanya jika mencicipi kuliner khas di daerah asalnya sendiri. Terasa lebih memuaskan. Mungkin juga karena pengaruh suasana.

Kuliner apa saja yang bisa ditemui di ibukota Propinsi Sulawesi Selatan ini? Berikut beberapa di antaranya.

1. Coto Makassar.
Coto Makassar atau Coto Mangkasara (pelafalan Makassar dalam dialek setempat) adalah semacam masakan soto dengan isi daging (atau jeroan). Selain bumbu dasar seperti lazimnya soto, pembeda coto adalah pada penggunaan sereh, kacang tanah dan tauco. Penyajiannya biasa ditempatkan dalam sebuah mangkok kecil beralas piring. Makannya bisa dengan nasi maupun dengan ketupat.


2. Konro
Selain coto, masakan daging berkuah lainnya adalah konro. Bedanya kalau coto menggunakan daging maka konro menggunakan daging bagian iga. Penyajiannya pun menyertakan iga. Kalau dulu konro disajikan berkuah, kini varian barunya dinamakan konro bakar. Jadi iga sapi yang sudah empuk dibakar (tepatnya dipanggang) dan disajikan bersama bumbu kacang, jadi rasanya mirip sate. 


3. Mie Titi
Makanan ini sebenarnya termasuk jenis baru makanan di Makassar. Bagi penggemar chinese food, kuliner satu ini pasti terasa akrab. Betul, kenampakan maupun rasanya mendekati ifumi. Mie yang digunakan memang biasanya digoreng kering terlebih dahulu. Diatasnya lalu disiramkan kuah kental panas berisi sayuran dan tambahan lainnya seperti bakso dan daging ayam.



4. Nyuknyang
Mungkin jenis makanan satu ini terdengar aneh. Tapi percayalah, makanan ini sebenarnya sangat mudah kita temui di mana-mana. Bakso, ya itulah nama lain nyuknyang. Terus terang, saya sendiri tidak tahu dari mana penamaan nyuknyang tersebut. Penyajiannya pun mirip dengan penyajian bakso di daerah lain. Perbedaannya mungkin pada cara menikmatinya. Di Makassar, nyuknyang bisa dinikmati dengan ditemani burasa.

Burasa atau buras adalah makanan nasi bersantan dibungkus daun pisang. Rasanya seperti lontong tanpa isi.



5. Nasi Campur
Di daerah lain, jenis makanan ini mungkin bisa disamakan dengan nasi rames. Dalam satu piring, nasi disajikan bersama lauk-pauknya seperti telur, rawon daging beserta sedikit kucuran kuahnya, kering tempe atau kentang, abon dan sebagai pelengkapnya adalah acar ketimun.


Sekarang, pilih mana? Tentu saja semuanya enak. Jadi kalau sempat ke Makassar, jangan lupakan untuk mencoba kelima jenis kuliner khas tersebut. Tentu saja masih banyak kuliner khas lainnya. Yang pasti semuanya enak dan lezat :)

Kamis, 19 Desember 2013

Ngeblog Berhadiah Jalan-Jalan

Siapa sangka tulisan saya ini ternyata dinyatakan sebagai pemenang lomba blog resep sehat yang diadakan salah satu produsen minyak goreng, SunCo. Sebagai hadiahnya, saya bersama lima pemenang lainnya diajak jalan-jalan ke Makassar. Yey...asyik!

Para pemenang lomba blog sehat dan panitia berfoto bersama di Bandara Soeta, Jakarta.

Walaupun bisa dikatakan asli dari Makassar, jalan-jalan kali ini tentu sangat spesial bagi saya. Selain bisa menyempatkan diri menengok orangtua, saya pun berkesempatan mencicipi berbagai hidangan khas tanpa bayar. Alias gratis..tis...tis.... Siapa yang bisa menolak godaan seperti ini :)

Singkat cerita saat tiba di Bandara Hasanuddin, kami pun dijemput panitia setempat. Tak menyia-nyiakan waktu, kami pun langsung diajak makan. Baru nyampe, udah langsung makan lho. Makannya konro lagi. Hmmm, kalau kata orang Makassar, nyamanna.....

Selesai menikmati kelezatan konro bakar dan sup konro, kami pun kembali ke bus. Bersiap menuju hotel. eh ada yang unik di depan tempat makan konro Karebosi ini. Apalagi kalau bukan aksi daeng yang menyiapkan konro. Lihatlah dengan kancing baju terbuka dia asyik membolak-balik daging iga di pembakaran. Lunrana deh itu daeng....



Hari kedua bisa dikatakan hari inti kegiatan ini. Bertempat di Kampung Popsa digelar Sunco Goes to Makassar. Acara ini menghadirkan chef Lucky (juara Master Chef Indonesia 1) dan Marischka Prudence (travel writer). Acara ini dihadiri berbagai komunitas kota Anging Mammiri. Ada komunitas blogger, tak ketinggalan pula komunitas ibu-ibu pencinta kuliner.


Suasananya tentu saja seru. Selain diisi dengan demo masak juga acara bertajuk travel talk. Adapula pengenalan produk Sunco. Tak ketinggalan games seru. Dasar judulnya culinary trip, gamesnya pun tak jauh-jauh dari kuliner. Yup...lomba makan. Beberapa mangkok pisang ijo dan jalangkote disajikan untuk dihabiskan para peserta lomba. Hasilnya lumayan, dapat juara 3. Voucher 200 ribu pun berhasil dikantongi. Eit..nggak jadi 200 ribu ding. Soalnya mesti berbagi dengan peserta satunya lagi. Jadi cuma dapat 100 ribu :)

Acara pengenalan produk juga lumayan seru. Dua orang sukarelawan diminta untuk mencicipi dua jenis minyak goreng yang disajikan. Konon minyak goreng yang baik itu seharusnya bisa diminum, walaupun bukan itu fungsi utamanya. Lihat itu ekspresi mereka girang setelah mencicipi SunCo padahal sebelumnya sempat berkerut kecut saat mencicipi minyak goreng yang lainnya.


Oh iya, para pemenang lomba blog juga menyempatkan diri mejeng bareng. Seharusnya enam orang, kami pun akhirnya hanya foto berlima. Seorang peserta berhalangan hadir. Kami pun berhaha hihi seperti jumpa teman lama. Padahal kelimanya berasal dari 5 kota berbeda yaitu Bogor, Tasikmalaya, Bandung, Jogja dan Makassar.


Di Kampung Popsa ini sebenarnya kami sudah makan kenyang lho. Kan dapat voucher makan seperti tamu undangan lainnya. Sudah itu kenyang dengan jalangkote dan pisang ijo lomba tadi. Tapi lepas dari sini, peserta digiring....makan lagi. Kali ini menuju jalan Serigala. Disana ada makanan terkenal berlabel Pallubasa Serigala. Penampakannya sih mirip sup atau soto. Tapi tentu saja bukan menggunakan daging serigala :P

Siapa yang tak kenal ikon Makassar, Pantai Losari. Tidak afdal rasanya mengunjungi Makassar kalau tidak menyempatkan diri ke sini. Waktunya pun pas, saat matahari akan tenggelam. Selain bisa menikmati pemandangan indah, kami pun bisa merasakan interaksi dengan masyarakat yang sedang menantikan sunset juga.

Sajian makan malam terakhir di kota Makassar  didominasi aneka seafood. Wow...sebagai pecinta seafood, saya tentu saja sangat senang. Bayangkan saja mulai dari kerang, cumi, kepiting, ikan kerapu, hingga ikan kudu-kudu memenuhi atas meja makan kami. Cah kangkung spesial menemani nasi pulen di piring masing-masing peserta. Apalagi sambalnya, komplit...plit.... Beda dengan penyajian biasanya, disini sambal disediakan dalam berbagai variasi. Sebuah piring kecil memudahkan pengunjung restoran untuk meracik sambalnya sendiri.



Tiada perjalanan tanpa akhir. Demikian pula dengan culinary trip ini. Hari ketiga kami di Makassar, sebelum pulang ke kota masing-masing, kami seolah diantar pulang oleh lambaian ikan dalam kuah pallumara. Rasanya yang ringan serta warnanya kuning menarik seolah mengingatkan setiap peserta untuk selalu kembali ke Makassar.

Selamat jalan Makassar. Terimakasih SunCo.