Kamis, 09 Januari 2014

[Kuliner Daihatsu] Terpikat Poster Kepiting

Saya termasuk salah seorang penggemar kuliner seafood. Mulai dari ikan (segala macam ikan laut), kerang, cumi, udang dan kepiting. Semuanya saya suka. Salah satu faktornya mungkin karena ‘nenek moyangku’ seorang pelaut. Eit, bukan bercanda lho, tapi karena saya memang asli Bugis Makassar. Suku yang memang sudah terkenal dengan kegemarannya pada makanan laut.

Mungkin bagi sebagian besar penikmat seafood, makan kepiting itu sedikit ribet. Tidak semua orang sabar berurusan dengan cangkang-cangkang kerasnya. Tapi bagi saya pribadi walaupun makannya sedikit ribet, tapi kenikmatan makan kepiting segar itu berbanding lurus dengan keribetannya. Nggak apa-apalah ribet sedikit, toh sekarang sudah ada alat khusus untuk menjepit kepiting. Tidak seperti waktu kecil saya dulu, nenek saya almarhum selalu membantu dengan cobekan untuk menghancurkan kulit kepiting yang segar.

Menghabiskan masa kecil dan remaja di berbagai kota di Sulawesi membentuk pola makan saya yang lebih memilih ikan (atau seafood lainnya) dibanding ayam, ikan, tempe tahu maupun telur. Tapi sayangnya, bisa dibilang, sejak menetap di Bandung dan Bogor saya jarang menyantap seafood. Penyebabnya karena di kedua kota tersebut sangat sulit menemukan bahan seafood segar.

Karena alasan itulah, saat mengunjungi daerah pantai, pilihan saya biasanya seafood. Kebetulan saat November kemarin saya diajak salah satu produsen minyak goreng berwisata kuliner di Makassar. Selain mencicipi hidangan khas Kota Anging Mamiri, para peserta juga diajak makan malam dengan menu seafood di salah satu rumah makan terkenal. Yay, ada kepiting juga. Rasanya luar biasa. Daging kepitingnya masih keras menempel, tidak seperti kepiting yang sudah tak segar yang biasa saya temukan di Jawa. Walau demikian saat digigit rasanya juicy dan terasa manis khas makanan laut.

Kepiting asam manis ala Makassar. Sulawesi Selatan.

Liburan kemarin kebetulan kami sekeluarga berkunjung ke pesisir selatan Jawa Barat. Masih teringat dengan masakan kepiting yang saya temukan di Makassar, saya pun mencoba memesan kepiting saat di Pelabuhan Ratu. Saya berasumsi karena daerah ini berada di tepi pantai, pastinya kepiting yang saya pesan segar dan enak. Tapi sayang, apa daya, saya kecewa. Kepitingnya sudah tidak segar lagi. Rasanya pun sudah tak begitu enak, padahal bumbu asam manisnya lumayan. Ceritanya kecewa deh. Tapi tetap dimakan kok, sayang sudah dipesan.

Kepiting asam manis ala Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.

Pemandangan kepiting lada hitam di poster Daihatsu Blog Competition membangkitkan semangat saya untuk kembali mencoba seafood bercapit ini dalam bentuk kepiting lada hitam. Terus terang saya juga baru tahu kalau makanan tersebut ternyata merupakan kuliner khas dan andalan Balikpapan. Saya pun browsing dan menemukan kepiting kenari andalan di kota tersebut . Saya berharap kalau menang di lomba ini, saya memiliki kesempatan mencoba makan kepiting kenari di Balikpapan. 







Cikotok, Potensi Wisata Tambang

Ini adalah bagian kedua dari cerita tentang Cikotok saat ini. Cerita bagian pertamanya bisa dibaca di sini.

Seperti sudah diceritakan sebelumnya, Cikotok saat ini sudah ditinggalkan oleh PT Aneka Tambang. Tapi potensi emas di daerah ini sebenarnya belum berakhir. Buktinya masih banyak terdengar cerita kesuksesan penambang emas liar yang menemukan hasil galian dengan kandungan emas tinggi.

Mungkin timbul pertanyaan, jika demikian mengapa PT Antam meninggalkan Cikotok kalau memang ternyata masih mengandung emas? Seperti halnya industri lain, industri pertambangan pun tentu saja menerapkan prinsip ekonomi dalam menentukan untung rugi jalannya perusahaan. Walaupun daerah ini terbukti masih bisa menghasilkan emas, tapi secara ekonomis tidak menguntungkan untuk dikelola. Dengan kata lain potensi kandungan emasnya sudah tidak layak secara industri.


Cikotok pun sepi dari hiruk pikuk pekerja tambang. Beberapa mess dan perumahan yang tadinya dipenuhi karyawan, kini terlihat kosong tak terawat. Beberapa dialihfungsikan untuk kepentingan masyarakat sekitar termasuk bekas kantor Unit Pengolahan Emas Cikotok PT Antam yang kini berubah menjadi bangunan SMKN 1 Cibeber.

Penulis menyempatkan berfoto di depan mess geologi UPEC PT Antam di Pasir Laban yang kini dibiarkan kosong.

Sebenarnya geliat pertambangan tidak sepenuhnya lenyap dari tempat ini. Beberapa gurandil (sebutan untuk penambang emas liar atau PETI/ penambang emas tanpa izin) masih terlihat mondar-mandir. Baik ketika berbelanja, mengangkut logistik ke lokasi lubang penggalian maupun mengangkut karung-karung hasil penggalian.

Mengingat nama besar Cikotok yang sudah tertanam di sebagian besar masyarakat Indonesia serta geliat pertambangan yang masih berdenyut, tak ada salahnya menjadikannya sebagai salah satu destinasi tujuan wisata pertambangan.


Beberapa peninggalan seperti mesin-mesin dan aset bangunan bisa dijadikan sarana pembelajaran dan pengenalan dunia tambang pada generasi muda. Wisatawan pun dapat diajak untuk mengunjungi beberapa lumbang tambang, tentu saja dengan memastikan keamanannya terlebih dahulu. Kegiatan penambangan yang dilakukan rakyat juga bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi wisatawan. 

Dulu 'lift' ini dipergunakan untuk mengangkut pekerja ke terowongan bawah tanah.

Konon di sini ada 'conveyor belt' untuk mengangkut hasil penggalian dari terowongan menuju pabrik pengolahan di Pasir Gombong.

Selain itu, Cikotok memiliki alam cukup indah dan udara sejuk. Jalan berkelok dan naik turun, khas daerah pesisir selatan Pulau Jawa memberikan pemandangan indah bagi mata.


Apabila Cikotok bisa menjadi destinasi wisata pertambangan, tentunya ini dapat mendatangkan keuntungan bagi warga sekitar. Bukan tidak mungkin, ‘emas’ dalam bentuk lain kembali memakmurkan masyarakat Cikotok.